The flawed conviction of journalist Muhammad Asrul should be overturned, and he should not spend any more time in jail, the Clooney Foundation for Justice said today after filing an amicus brief before Indonesia’s Supreme Court.
Asrul was prosecuted and convicted of cyber defamation under Indonesia’s Electronic Information and Transactions Law (“ITE Law”) and sentenced to three months in prison for reporting on alleged corruption by the son of a city mayor. The American Bar Association’s Center for Human Rights monitored Asrul’s trial as part of CFJ’s TrialWatch Initiative.
Asrul’s case presents an important opportunity for the Supreme Court to clarify the protections to which journalists in Indonesia are entitled and in particular what role Indonesia’s Press Council should play in press-related disputes. Without such clarity, journalists will continue to face legal uncertainty and prosecutions that violate the right to freedom of expression.
The Indonesian Press Council is mandated “to help settle public complaints over press publication-related cases.” The police are expected to “coordinate” investigations into press-related complaints with “the Press Council to determine whether the complaint concerns a criminal offense or violation of the journalistic code of ethics.” New ITE Law implementation guidelines commissioned by the Indonesian President also state that press regulations, not the ITE Law, should apply if a press institution publishes an article.
However, in Asrul’s case, the police did not meaningfully involve the Press Council in the investigation. Only after Asrul had been arrested and detained was the Press Council alerted. Subsequently, the police ignored a Press Council opinion that Asrul’s articles were journalistic products and that the Press Council should be given the opportunity to resolve the matter. The trial court then sentenced Asrul to prison without the Press Council ever having a chance to settle the dispute, stating that complaints filed directly with the police need not be mediated by the Press Council. This change to the process for handling press-related cases was not reasonably foreseeable and Asrul’s conviction is inconsistent with the principle of legal certainty, as well as his right to freedom of expression.
“The court’s decision tilts the balance too far in favour of the complainant. There is no point having a Press Council perform the function of mediating press complaints if it can be so easily circumvented by the complainant going straight to the police,” said TrialWatch Expert Professor Simon Butt. “This type of aggressive use of the ITE Law has no place in a democracy. The way the Law has been applied in this and other cases is highly problematic and it is easy to see why the President sought its revision.”
Asrul’s conviction comes against the backdrop of rising numbers of prosecutions under the ITE Law, including that of a twenty-five-year-old dermatology patient for a negative review of a beauty clinic. Article 27(3) of the ITE Law, the cyber-defamation provision at issue in Asrul’s case, provides for up to four years in prison for “[a]ny Person who knowingly and without authority distributes and/or transmits and/or causes to be accessible Electronic Information and/or Electronic Documents with contents of affronts and/or defamation.” TrialWatch Expert Professor Butt previously found that “the ITE law is flawed and overbroad.”
Indonesia’s President has acknowledged concerns about the overbroad enforcement of the ITE Law and has reassured the country that it will not be used to curb citizens’ right to freedom of expression. Recently, the President pardoned an academic convicted under the law.
CFJ’s amicus brief urges the Indonesian Supreme Court to overturn the trial court’s verdict and acquit Asrul, in line with international legal standards. It also urges the Supreme Court to clarify the protections to which journalists are entitled, given the implications of this case for press freedom more broadly.
“Mr. Asrul’s case is a shot across the bow for journalists in Indonesia. The ITE Law is ripe for amendment, including to make it very clear that the Press Council must be allowed to play its authorized role in screening out complaints against the press based on their reporting,” said Professor Butt.
Background
In Asrul’s case, the complainant, Farid Kasim Judas, the son of a mayor and also a political figure himself, filed a complaint with the Press Council but provided the wrong domain address for Berita.News, the outlet where Asrul worked. As a result, the Press Council was unable to respond to the complaint. Judas subsequently turned to the police, who proceeded with a criminal investigation without involving the Press Council. On January 29, 2020 Asrul was arrested and detained.
Only after defense counsel requested that the Press Council provide a formal view did the Council weigh in and send a letter to the authorities. The letter stated that Asrul’s reporting complied with journalistic ethics and that the Press Council should first be permitted to attempt resolution of the dispute. The police and prosecutor disregarded the letter and the trial court stated that “the Press Council itself can no longer handle press dispute complaints whose cases have been reported to the Police or submitted to the Court,” contrary to the language of Indonesia’s 1999 Press Law and a Memorandum of Understanding between the Press Council and the police. The court went on to set a standard that also belies the Memorandum of Understanding, finding that it could disregard the Press Council’s views because, among other things, the Council never explicitly stated that the case “could threaten the foundations of press freedom and human rights.”
Asrul was convicted on November 17, 2021, and appealed to the Supreme Court of Indonesia on April 18, 2022. The Supreme Court is expected to consider Asrul’s appeal in the coming weeks.
Mahkamah Agung Republic of Indonesia Perlu Membatalkan Putusan Bersalah Yang Cacat Hukum Terhadap Jurnalis
Putusan bersalah yang cacat hukum terhadap jurnalis Muhammad Asrul perlu dibatalkan, dan ia seharusnya tidak menghabiskan waktu lebih lama lagi di penjara, kata Clooney Foundation for Justice hari ini setelah menyerahkan sebuah dokumen amicus curae yang diajukan ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tuan Asrul telah didakwa dan dinyatakan bersalah atas pencemaran nama baik secara daring berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan dipidana penjara selama tiga bulan karena telah melaporkan dugaan korupsi oleh anak seorang walikota. Pusat Hak Asasi Manusia dari Asosiasi Advokat Amerika (American Bar Association’s Center for Human Rights) telah memantau persidangan Tuan Asrul sebagai bagian dari Inisiatif TrialWatch dari CFJ.
Kasus Tuan Asrul merupakan kesempatan yang penting bagi Mahkamah Agung untuk mengklarifikasi perlindungan yang merupakan hak para jurnalis Indonesia dan khususnya peran apa yang perlu dijalankan oleh Dewan Pers Indonesia dalam sengketa yang berhubungan pers. Tanpa kejelasan tersebut, jurnalis akan terus menghadapi ketidakpastian hukum dan tuntutan pidana yang melanggar hak kebebasan berekspresi.
Dewan Pers Indonesia diberi mandat untuk “mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.” Kepolisian diharapkan untuk “mengkoordinasikan” penyelidikan terhadap laporan yang terkait dengan pers dengan “Dewan Pers untuk menentukan apakah laporan tersebut menyangkut tindakan pidana atau pelanggaran kode etik jurnalistik.” Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diterbitkan atas arahan Presiden juga menyatakan bahwa peraturan tentang pers, bukan UU ITE, adalah yang berlaku jika sebuah lembaga pers menerbitkan sebuah artikel.
Namun demikian, dalam kasus Tuan Asrul, kepolisian tidak melibatkan Dewan Pers secara bermakna di dalam penyelidikan. Hanya setelah Tuan Asrul ditangkap dan ditahan barulah Dewan Persi diberitahu. Dalam pengembangan perkara, polisi mengabaikan pendapat dari Dewan Pers bahwa artikel-artikel Tuan Asrul merupakan produk jurnalistik dan bahwa Dewan Pers perlu diberikan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan. Pengadilan kemudian memvonis Tuan Asrul dengan hukuman penjara tanpa adanya kesempatan bagi Dewan Pers untuk menyelesaikan masalah, dengan alasan bahwa laporan yang ditujukan secara langsung ke kepolisian tidak perlu dimediasi oleh Dewan Pers. Perubahan terhadap proses penanganan kasus pers ini tidak dapat secara wajar diduga akan terjadi dan putusan yang dijatuhkan terhadap Tuan Asrul tidak konsisten dengan asas kepastian hukum, disamping haknya atas kebebasan berekspresi.
“Putusan pengadilan tersebut terlalu mengedepankan kepentingan pelapor. Tidak ada manfaat dari fungsi sebuah Dewan Pers untuk memediasi aduan tentang pers jika ketentuan tersebut dapat dilangkahi dengan cara pelapor mengajukan laporan langsung ke polisi,” ungkap Pakar TrialWatch, Prof. Simon Butt. “Penggunaan UU ITE secara agresif ini tidak memiliki tempat dalam lingkup demokrasi. Cara bagaimana undang-undang telah diterapkan dalam kasus ini serta kasus-kasus lainnya merupakan permasalahan penting dan terlihat jelas alasan Presiden ingin mengupayakan agar undang-undang tersebut direvisi.”
Vonis bersalah terhadap Tuan Asrul muncul di tengah-tengah meningkatnya jumlah tuntutan pidana yang diajukan berdasarkan UU ITE, termasuk tuntutan terhadap pasien dermatologi berusia 25 tahun dikarenakan ulasan negatifnya terhadap sebuah klinik kecantikan. Pasal 27(3) dari UU ITE, ketentuan pencemaran nama baik secara elektronik yang dipermasalahkan pada kasus Tuan Asrul, memberikan hukuman setinggi-tingginya empat tahun bagi “[s]etiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Ahli dari TrialWatch, Prof. Butt, sebelumnya telah mencatat bahwa “UU ITE adalah cacat dan terlalu luas.”
Presiden Indonesia telah turut menyatakan keprihatinannya mengenai keberlakuan UU ITE yang terlalu luas dan telah meyakinkan rakyat bahwa undang-undang tersebut tidak akan digunakan untuk membatasi hak warga atas kebebasan berekspresi. Baru-baru ini Presiden memberikan grasi kepada seorang akademisi yang diputusan bersalah berdasarkan undang-undang tersebut.
Dokumen amicus curiae yang disusun oleh CFJ meminta Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membatalkan putusan pengadilan dan membebaskan Tuan Asrul, sejalan dengan standar-standar hukum internasional. Lembaga tersebut juga mendesak Mahkamah Agung untuk memperjelas perlindungan yang menjadi hak jurnalis, mengingat dampak dari kasus ini terhadap kemerdekaan pers secara lebih luas.
“Kasus Tuan Asrul merupakan suatu peringatan bagi jurnalis di Indonesia. UU ITE sangat perlu untuk diubah, termasuk memperjelas bahwa Dewan Pers harus diberi ruang untuk memainkan perannya berdasarkan undang-undang dalam memeriksa laporan terhadap pers berdasarkan pemberitaan yang dihasilkan,” ujar Prof. Butt.
Latar Belakang
Dalam kasus Tuan Asrul, pihak pelapor, yakni Farid Kasim Judas, anak dari seorang walikota dan juga tokok politik, mengajukan laporan kepada Dewan Pers namun memberikan alamat domain yang salah untuk Berita.News, kantor berita dimana Tuan Asrul bekerja. Sebagai akibatnya, Dewan Pers tidak dapat memberikan jawaban terhadap laporan tersebut. Tuan Judas kemudian menghubungi polisi, yang kemudian meluncurkan penyelidikan tanpa melibatkan Dewan Pers. Pada tanggal 29 Januari 2020, Tuan Asrul ditangkap dan ditahan.
Hanya setelah tim pembela meminta pandangan resmi dari Dewan Pers, barulah Dewan memberikan pendapat dan mengirimkan surat kepada pihak yang berwenang. Surat tersebut menyatakan bahwa pemberitaan Tuan Asrul sudah sesuai dengan etika jurnalisme dan bahwa Dewan Pers seharusnya diberikan kesempatan untuk berusaha menyelesaikan sengketa. Kepolisian maupun Kejaksaan mengabaikan surat tersebut dan pengadilan yang memeriksa perkara menyatakan bahwa “Dewan Pers tidak dapat lagi menangani laporan sengketa pers yang kasusnya telah dilaporkan ke Kepolisian atau diserahkan ke pengadilan,” yang pada kenyataannya bertentangan dengan ketentuan UU Pers Indonesia dan sebuah Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polri. Pengadilan lebih lanjut menetapkan sebuah standar yang mengalahkan Nota Kesepahaman tersebut, dengan menyatakan bahwa Pengadilan dapat mengabaikan pandangan Dewan Pers karena, antara lain, Dewan tidak pernah menyatakan secara tegas bahwa kasus tersebut “dapat mengancam sendi-sendi kemerdekaan pers dan hak asasi manusia.”
Tuan Asrul divonis bersalah pada tanggal 17 November 2021, dan mengajukan banding ke Mahkamah Agung pada tanggal 18 April 2022. Mahkamah Agung dinantikan akan mempertimbangkan upaya banding Tuan Asrul dalam beberapa minggu ke depan.