(Versi bahasa Indonesia tersedia di bawah ini)
Indonesia’s Electronic Information and Transactions Law (EIT Law) has been repeatedly weaponized to stifle free expression despite official guidance intended to curb such abuse, a new report from the Clooney Foundation for Justice’s TrialWatch initiative and the Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) reveals.
The report, titled “Protecting Online Speech in Indonesia: Lessons from the EIT Law and the Road Ahead”, was released at an event attended by key stakeholders from the government and judiciary in Jakarta today.
Though Indonesia is introducing a new Criminal Code that will soon supersede the EIT Law, many of the deficiencies of the current legal framework will remain, the report warns, while also offering recommendations to better protect free speech in Indonesia. These recommendations draw from recent decisions of Indonesia’s Constitutional Court that outline key principles for protecting freedom of speech.
“The Constitutional Court’s recent decision to strike down certain restrictive provisions is a welcome step forward, but our findings show that the EIT Law continues to be used in ways that undermine public-interest speech,” said TrialWatch Senior Legal Program Manager Maneka Khanna. “Building on this progress, Indonesia now has the opportunity to introduce legal reforms that further protect free expression.”
The report is based on an analysis of 73 cases brought under the EIT Law since 2021, when the government issued a Joint Decree that was meant to limit abusive prosecutions by explicitly excluding certain types of cases. The analysis shows that authorities, even when aware of the Joint Decree, continued to prosecute journalists, human rights defenders, and ordinary citizens based on the EIT Law’s cyberdefamation and hate speech provisions. Nearly 90% of the analyzed cases should have been dismissed under the Joint Decree, yet they were allowed to proceed nonetheless.
The report details multiple cases brought under the EIT Law that should have been excluded by the Joint Decree, such as:
- An environmental defender who criticized industrial shrimp farming on Facebook and was convicted, fined, and sentenced to seven months in prison. His conviction was later set aside, though only on the ground that he was an environmental human rights defender.
- Two prominent human rights defenders who were charged for discussing a report about financial links between a government minister and mining operations in Papua. The activists were eventually acquitted of all charges following an amicus curiae brief from TrialWatch.
The new report builds on TrialWatch and ICJR’s submission to the UN Human Rights Committee in March 2024, which outlined the ineffectiveness of the Joint Decree and gaps in the EIT Law. In turn, the Human Rights Committee expressed its concern about Indonesia’s cyberdefamation provisions. Some of the issues with the EIT Law, including an overly broad definition of defamation, remain present in the new Indonesian Criminal Code.
“The government must ensure that the socialization of the new Criminal Code respects freedom of expression and is implemented properly when it comes into effect in January 2026,” said Maidina Rahmawati, Acting Executive Director of ICJR.
Using empirical data on the shortcomings of the Joint Decree as a cautionary tale, TrialWatch and ICJR urge the creation of clear, enforceable guidelines for police, prosecutors, and judges, alongside revisions to the new Criminal Code to bring it into line with international standards and recent decisions made by Indonesia’s Constitutional Court.
Ongoing monitoring in Indonesia will be required to fully gauge whether the right to free speech will be better protected following the impending changes to the law.
The full report is available in English here, and its executive summary and recommendations are available in Indonesian here.
ABOUT THE CLOONEY FOUNDATION FOR JUSTICE’S TRIALWATCH INITIATIVE
TrialWatch provides free legal aid to journalists who are unfairly imprisoned to secure their release and uphold freedom of speech.
ABOUT THE CLOONEY FOUNDATION FOR JUSTICE
The Clooney Foundation for Justice wages justice by providing free legal aid in defense of free speech and women’s rights in over 40 countries. Its work has led to dozens of journalists being set free and thousands of women receiving free legal support to defend their rights.
Laporan Penelitian Menunjukkan Ancaman Serius Terhadap Kebebasan Berekspresi di Indonesia Dapat Terus Berlanjut Setelah Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Baru
Laporan terbaru dari Clooney Foundation for Justice melalui inisiatif TrialWatch dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkap bahwa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap dijadikan alat pembungkaman kebebasan berekspresi di Indonesia, meskipun telah ada pedoman implementasi UU ITE 2021 yang bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan tersebut.
Laporan berjudul “Melindungi Kebebasan Berekspresi di Ruang Siber: Belajar dari UU ITE dan Arah Ke Depan” (Protecting Online Speech in Indonesia: Lessons from the EIT Law and the Road Ahead), diluncurkan dalam acara di Jakarta hari ini yang dihadiri oleh para pemangku kepentingan dari pemerintah dan lembaga peradilan.
Meskipun Indonesia akan memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang akan segera menggantikan UU ITE, laporan tersebut memperingatkan bahwa masih banyak kelemahan dalam kerangka hukum saat ini. Namun laporan ini juga memberikan rekomendasi untuk melindungi kebebasan berekspresi di Indonesia dengan lebih baik. Rekomendasi ini didasarkan pada putusan-putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengamanatkan prinsip-prinsip untuk melindungi kebebasan berekspresi.
“Putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini membatalkan beberapa pasal yang bersifat pembatasan merupakan langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, temuan kami menunjukkan bahwa UU ITE terus digunakan dengan cara yang merugikan kebebasan berekspresi untuk kepentingan publik,” kata Maneka Khanna, Senior Legal Program Manager TrialWatch. “Dengan memanfaatkan kemajuan ini, Indonesia kini memiliki kesempatan untuk mendorong reformasi hukum yang lebih melindungi kebebasan berekspresi.”
Laporan ini didasarkan pada analisis 73 kasus yang dilaporkan menggunakan UU ITE sejak 2021, ketika pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang bertujuan membatasi penuntutan sewenang-wenang yang secara eksplisit mengecualikan kondisi-kondisi tertentu. Analisis menunjukkan bahwa penegak hukum, meskipun mengetahui Surat Keputusan Bersama tersebut, tetap melanjutkan penuntutan terhadap jurnalis, pembela hak asasi manusia, dan warga biasa berdasarkan ketentuan pencemaran nama baik melalui sosial media dan ujaran kebencian dalam Undang-Undang ITE. Hampir 90% kasus yang dianalisis seharusnya dibatalkan berdasarkan Surat Keputusan Bersama, namun tetap dibiarkan berlanjut.
- Seorang aktivis lingkungan hidup yang mengkritik budidaya massal di Facebook dan dinyatakan terbukti bersalah, dikenakan denda, serta dijatuhi hukuman tujuh bulan penjara. Vonisnya kemudian dibatalkan meskipun hanya dengan alasan bahwa ia adalah seorang aktivis hak asasi manusia untuk isu-isu lingkungan hidup.
- Dua aktivis hak asasi manusia terkemuka yang didakwa karena membahas laporan tentang keterkaitan finansial antara seorang menteri dan perusahaan pertambangan di Papua. Para aktivis tersebut akhirnya dibebaskan dari semua dakwaan setelah adanya amicus curiae dari TrialWatch.
Laporan baru ini didasarkan pada penyampaian Laporan TrialWatch dan ICJR kepada Komite Hak Asasi Manusia PBB pada Maret 2024, yang menguraikan ketidakefektifan Surat Keputusan Bersama dan celah dalam Undang-Undang ITE. Sebagai tanggapan, Komite Hak Asasi Manusia mengekspresikan keprihatinannya terhadap ketentuan pencemaran nama baik melalui sosial media di Indonesia. Beberapa masalah dalam Undang-Undang ITE, termasuk definisi pencemaran nama baik yang terlalu luas, tetap tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang baru.
“Pemerintah harus memastikan bahwa sosialisasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru menghormati kebebasan berekspresi dan dilaksanakan dengan benar saat mulai berlaku pada Januari 2026,” ucap Maidina Rahmawati, Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif ICJR.
Data empiris terkait kelemahan dalam Surat Keputusan Bersama merupakan pengingat untuk Pemerintah agar lebih berhati-hati, TrialWatch dan ICJR mendesak pembentukan pedoman yang jelas dan dapat ditegakkan bagi polisi, jaksa, dan hakim, serta revisi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru agar sesuai dengan standar internasional dan putusan-putusan terbaru Mahkamah Konstitusi Indonesia.
Pemantauan berkelanjutan di Indonesia diperlukan untuk menilai secara menyeluruh apakah hak kebebasan berekspresi akan terlindungi dengan lebih baik setelah adanya KUHP yang baru.
Laporan lengkap dalam bahasa Inggris dapat diakses di sini, sementara ringkasan eksekutif dan rekomendasi dalam bahasa Indonesia tersedia di sini.
